MAKAM GANTUNG DI BLITAR
Semasa hidupnya, orang yang dimakamkan ditempat ini dikenal sebagai tokoh sakti. Pasalnya, tokoh ini menguasai ilmu langka yang bernama Aji Pancasona. Yakni sebuah ilmu yang dapat hidup kembali ketika mati. Dengan catatan, asal menyentuh tanah. Karena itu, agar tidak hidup kembali, saat meninggal, kemudian makamnya digantung.
Di
jalan Melati, Blitar, Jawa Timur, ada sebuah makam tua yang lebih
dikenal dengan nama makam Gantung. Predikat yang melekat pada makam tua
ini, sangat singkron dengan kondisi makam tersebut.
Pasalnya, makam ini memang dalam posisi tidak menyentuh tanah. Karena itu, masyarakat Blitar menyebutnya dengan nama, Makam Gantung. Karena keunikannya, tak sedikit para penjiarah yang datang ke makam Bung Karno, menyempatkan diri berjiarah ke makam gantung.
Selain
mendoakan tokoh sakti yang makamnya tidak menyentuh tanah ini, mereka
sengaja ingin menyaksikan keunikan dari makam itu. Apalagi, jarak makam
Bung Karno dengan makam gantung, hanya terpaut sekitar satu kilometer.
Eyang
Joyodigo, inilah nama tokoh sakti yang makamnya dibuat ditidak
menyentuh tanah. Menurut penuturan juru kunci makam gantung, Biran, 74
tahun, semasa hidupnya, Eyang Joyodigo dikenal sebagai satu-satunya
tokoh pada zamannya yang memiliki ilmu Aji Pancasona.
Yakni,
ajian yang ketika mati dapat hidup kembali asal jasadnya menyentuh
tanah. Karena itu, ketika tokoh ini meninggal diusia senja, kemudian
makamnya dibuat tidak menyentuh tanah. Jasadnya dimasukan kedalam peti
besi, kemdian disangga dengan empat penyangga yang juga terbuat dari
besi.
Karena
makamnya tidak menyentuh tanah, walau jasadnya disangga dalam peti
besi, masyarakat setempat menyebutnya dengan nama makam gantung.
Sedangkan dibawah serta di kiri-kanannya, dimakamkan para keluarga Eyang
Joyodigo.
Masih
menurut penuturan juru kunci, dalam epos Ramayana, saat itu hanya satu
yang memiliki Aji Pancasona. Yakni saudara kembar Sugriwo yang bernama
Subali. Keduanya, berasal dari bangsa kera.
Namun,
karena rayuan Rahwana, kemudian ilmu Aji Pancasona jatuh ke tangah
raja dari Ngalengka ini. Lalu bagaimana Aji Pancasona bisa dikuasai oleh
Eyang Joyodigo?
Menurutnya
lagi, semasa hidup, tokoh ini dikenal suka laku tirakat. Berbagai
macam ilmu telah dikuasai. Termasuk Aji Pancasona. Bahkan gurunya, tak
hanya dari bangsa manusia saja. Tapi ada juga yang berasal dari bangsa
lelembut.
Tak heran, jika Eyang Joyodigo bisa menguasai ilmu Aji Pancasona yang pemilik aslinya, tinggal cerita.
"Beliau semasa hidupnya, berguru pada sosok gaib pemilik pertama Aji Pancasona (Subali)" terang juru kunci yang juga mantan tentara PETA.
Lalu
siapa sebenarnya Eyang Joyodigo? Sebagaimana yang dituturkan Boiran
kepada Misteri, tokoh ini dulunya sahabat dekat Pangeran Diponegoro.
Tak hanya sahabat juga, karena Joyodigo juga trah darah biru dari
Mataram.
Dan
pada tahun 1825, timbul perselisihan antara Belanda dengan Pangeran
Diponegoro. Penyebabnya, pihak keraton bagi Diponegoro, terlalu
merendahkan martabatnya. Keraton Yogyakarta, seakan-akan berdiri hanya
karena kemurahan hati Belanda.
Tak
hanya itu, yang membuat darah Diponegoro mendidih. Saat itu, kekuasaan
raja-raja ditanah Jawa terus dipersempit. Ada lagi, kekuasaan raja
disamakan dengan kedudukan pengawai tinggi pemerintahan Kolonial.
Bahkan, pemerintah kolonial terlalu jauh mencampuri urusan keraton
dengan cara ikut campur dalam hal pergantian raja.
Lebih
menyakitkan lagi bagi Diponegoro, pihak Belanda memungut pajak jalan,
ternak, rumah serta hasil bumi kepada rakyat jelata. Karena itu, ketika
kompeni membuat tanda tapal batas untuk jalan yang melewati tanah
leluhurnya, tanda tapal batas itu langsung dicabut.
Dengan
begitu, api peperangan telah tersulut. Selama dalam masa peperangan
yang berlangsung lima tahun (1825-1830), salah satu pengikut pangeran
Diponegoro yang setia yakni, Joyodigo. Bersama Diponegoro, Joyodigo
terus melakukan perlawanan kepada Belanda.
Tak
hanya sekali, tokoh sakti ini tertangkap dan dieksekusi mati oleh
Belanda. Namun, karena mempunyai Aji Pancasona, begitu jasadnya dibuang
oleh Belanda, Joyodigo hidup lagi tanpa sepengetahuan kompeni.
Hingga
pada akhirnya, di tahun 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap karena
siasat licik pihak kompeni. Namun walau Pangeran Diponegoro telah
diasingkan ke Makasar setelah tertangkap, bukan berarti darah pejuang
Joyodigo padam.
Walau
saat pecah perang Pangeran Diponegoro, usianya masih menginjak sekitar
30-an. Ia terus melakukan perang gerilya bersama pengikut Pangeran
Diponegoro yang lain. Namun, karena saat itu wilayah Yogyakarta terlalu
banyak penjagaan oleh kompeni, Joyodigo memilih perang gerilya menuju
arah timur.
Singkat
kata, dalam perjalanannya ke arah timur, setiap pos Belanda yang
lengah, pasti diserang. Hingga pada akhirnya, sampailah Joyodigyo di
wilayah Blitar. Di kota ini, tanpa sepengetahuan pihak penguasa Blitar
saat itu, Joyodigo terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Merasa
wilayahnya aman dari pemerasan kompeni, kemudian Adipati Blitar saat
itu, mengirim pasukan telik sandi (intel) untuk mencari tahu siapa
sebenarnya yang telah membuat takut kompeni di wilayah Blitar.
Hingga
pada akhirnya, telik sandi yang dikirim oleh sang Adipati, menemukan
Joyodigo di sebuah hutan yang masuk Blitar Selatan. Atas perintah
Adipati Blitar, telik sandi mengundang Joyodigo untuk datang ke
pendopo.
Namun
permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus. Alasannya,
Joyodigo saat itu, masih sibuk melatih laskar untuk mengusir kompeni.
Karena
tolakan halus dari Joyodigo ini, kemudian telik sandi langsung pulang
dan melapor kepada Adipati. Dua tahun kemudian, Adipati Blitar kembali
mengirim utusan. Saat itu, patih di kadipaten Blitar mangkat dan harus
segera dicarikan pengganti.
Maksud
Adipati mengirim utusan yang kedua, agar Joyodigo bersedia menjadi
pati di kadipaten Blitar. Dan karena banyak pihak kompeni yang
meninggalkan Blitar lantara serangan gerilya pasukan Joyodigo, tokoh ini
bersedia menerima tawaran Adipati Blitar.
Sebagai
seorang keturunan darah biru dan pernah tinggal di keraton, ketika
diangkat menjadi patih di kadipaten Blitar, Joyodigo sudah tak asing
lagi dengan pemerintahan. Patih Joyodigo mampu mengambil kebijakan yang
sangat cakap.
Hal
inilah yang membuat salut sang Adipati Blitar. Karena kecakapan ini,
kemudian sang Adipati memberinya tanah perdikan yang sekarang berada di
Jalan Melati kota Blitar. Di tanah perdikan ini, Joyodigo kemudian
membangun sebuah rumah besar untuk keluarganya dan diberinya nama,
Pesanggerahan Joyodigo.
Rumah
yang didirikan oleh Joyodigo in, hingga kini masih berdiri kokoh.
Sebagai manusia biasa, walau mempunyai Aji Pancasona, Joyodigo akhirnya
wafat pada tahun 1905 diusia seratus tahun lebih.
Sebagai manusia biasa, walau mempunyai Aji Pancasona, Joyodigo akhirnya wafat pada tahun 1905 diusia seratus tahun lebih.